Pagi itu, Minggu, 20 Desember 2025, Sleman terbangun dengan cara yang istimewa. Cahaya matahari muncul perlahan dari balik timur, menyibak sisa-sisa embun yang menggantung di udara, sementara Gunung Merapi berdiri tegak di kejauhan—anggun, tenang, dan penuh wibawa. Awan tipis memeluk puncaknya, seakan Merapi sedang menyimpan rahasia pagi yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang sudi berjalan perlahan dan menundukkan hati.
Aku melangkah menyusuri pagi ini, melewati jalan-jalan yang mulai hidup namun belum riuh. Lampu lalu lintas masih berpendar lembut, toko-toko perlahan membuka pintu, dan suara motor bercampur dengan kicau burung. Di sela denyut kota yang bangkit, Merapi menjadi latar yang tak pernah absen, mengingatkan bahwa di balik kesibukan manusia, alam selalu setia menjaga ritmenya sendiri.
Merapi pagi ini tampak bersahaja. Lerengnya hijau, garis-garis alurnya tegas, dan puncaknya diselimuti awan putih yang bergerak pelan. Tak ada letupan, tak ada amarah—yang ada hanya ketenangan yang mendalam. Ia seperti seorang guru tua yang memilih diam, mengajarkan kebijaksanaan lewat kehadiran. Dalam diamnya, Merapi mengingatkan tentang kesabaran, tentang waktu, dan tentang keseimbangan antara kuasa dan kasih.
Berjalan di bawah pandangnya, hati terasa lapang. Setiap langkah seolah diiringi doa yang tak terucap. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan dedaunan, menenangkan pikiran yang sempat lelah. Pagi Minggu ini bukan sekadar pergantian waktu, melainkan perjumpaan batin—antara manusia dan gunung, antara kesibukan dan kesadaran, antara hari kemarin dan harapan esok.
Merapi, dengan segala kisahnya—tentang letusan dan kehidupan, tentang duka dan kebangkitan—kini berdiri sebagai simbol keteguhan. Ia pernah menguji, pernah melukai, namun juga memberi. Dari rahimnya, tanah menjadi subur; dari amarahnya, manusia belajar rendah hati. Dan pagi ini, ia memilih untuk memeluk Sleman dengan damai.
Saat matahari kian meninggi, awan di puncak perlahan menipis. Merapi tetap di sana, setia menjaga Yogyakarta dan sekitarnya. Aku pun melanjutkan langkah, membawa pulang rasa syukur yang sederhana: telah diberi pagi yang indah, telah diizinkan menyaksikan keagungan yang tak pernah menuntut puja, namun selalu layak dihormati.
Begitulah Merapi di pagi hari—mengagumkan tanpa berteriak, indah tanpa berlebih, dan selalu mengajak siapa pun yang memandangnya untuk berjalan lebih pelan, bernapas lebih dalam, dan mencintai kehidupan dengan lebih bijak.



0 Komentar