Selamat Tinggal 2025, Selamat Datang 2026: Desa di Persimpangan Harapan dan Kenyataan

LATIF SAFRUDDIN
ENTERPRENEUR KULINER DAN PEMERHATI DESA
SEKJEN FORUM BPD KLATEN SELATAN


Tahun 2025 perlahan meninggalkan desa-desa di Indonesia dengan berbagai cerita. Ada yang penuh harapan, ada pula yang menyimpan kelelahan panjang. Desa tidak lagi sepenuhnya identik dengan keterbelakangan, tetapi juga belum sepenuhnya menjadi pusat kesejahteraan. Di penghujung 2025, desa berdiri di persimpangan: antara peluang besar dan tantangan yang nyata.

Selama 2025, desa masih menjadi tulang punggung ketahanan sosial dan ekonomi nasional. Ketika ekonomi global tidak menentu, desa tetap bergerak dengan ritme sendiri. Pertanian rakyat, usaha mikro, tradisi gotong royong, dan kekuatan sosial masyarakat desa terbukti mampu menjaga stabilitas hidup warganya. Dana Desa masih menjadi instrumen penting yang menggerakkan pembangunan dasar, mulai dari infrastruktur, bantuan sosial, hingga modal awal Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Namun, di balik capaian tersebut, desa juga menghadapi kenyataan yang tidak ringan. Tidak semua desa mampu mengelola Dana Desa secara optimal. Sebagian masih terjebak pada pembangunan fisik semata, sementara penguatan ekonomi jangka panjang, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan inovasi desa berjalan lambat. BUMDes banyak yang berdiri, tetapi tidak sedikit pula yang stagnan atau bahkan mati suri karena lemahnya manajemen dan minimnya pendampingan.

Tahun 2025 juga memperlihatkan persoalan klasik desa yang belum sepenuhnya terpecahkan: urbanisasi. Anak-anak muda desa masih melihat kota sebagai masa depan, sementara desa dianggap tempat kembali ketika usia tidak lagi produktif. Akibatnya, desa kekurangan tenaga muda kreatif yang seharusnya menjadi motor inovasi. Padahal, desa memiliki potensi besar di sektor pangan, wisata, ekonomi kreatif, dan energi terbarukan.

Memasuki 2026, desa seharusnya tidak lagi diposisikan hanya sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek utama. Pembangunan desa tidak cukup hanya dengan anggaran, melainkan membutuhkan arah yang jelas. Desa perlu didorong untuk memiliki perencanaan jangka panjang berbasis potensi lokal, bukan sekadar mengikuti program dari atas. Partisipasi warga, transparansi, dan peran lembaga desa seperti BPD harus diperkuat agar kebijakan benar-benar lahir dari kebutuhan masyarakat.

Tahun 2026 juga harus menjadi momentum penguatan kemandirian desa. Ketahanan pangan lokal, ekonomi desa berbasis komunitas, serta pemanfaatan aset desa secara produktif perlu menjadi prioritas. Desa tidak boleh terus bergantung pada bantuan, tetapi harus didorong untuk menciptakan nilai tambah dari apa yang mereka miliki: tanah, budaya, sumber daya alam, dan solidaritas sosial.

Akhirnya, mengucapkan selamat tinggal pada 2025 berarti meninggalkan pola lama pembangunan desa yang serba administratif dan seremonial. Menyambut 2026 adalah ajakan untuk membangun desa dengan kesadaran baru: desa yang berdaulat secara ekonomi, kuat secara sosial, dan berdaya secara politik. Jika desa kuat, Indonesia akan kokoh. Sebab masa depan bangsa ini, sejatinya, sedang tumbuh perlahan di desa-desa.

Posting Komentar

0 Komentar